Senin, 11 September 2017

Salawaku, Sebuah Resensi Film

SALAWAKU: KISAH SEPOTONG SURGA DI PULAU SERAM
(Resensi Film)


            Kalau tidak ada alur cerita dan kisah orang-orang di dalamnya sebagian penonton pasti akan terjebak dengan menganggap film ini sebagai sebuah karya dokumenter atau nukilan perjalanan seorang traveler. Bagaimana tidak, sejak menit pertama Salawaku (rilis di bioskop pada 26 Oktober 2016) telah menyajikan pemandangan memukau: bentang alam terbuka, hamparan langit luas berhiaskan awan-awan, laut biru jernih dan kosong, hutan perawan, pantai berpasir putih, sunset di tepi pantai, dan sejumlah spot magis-menarik lainnya.
            Salawaku mengisahkan perjalanan Salawaku (Elko Kastanya), seorang bocah kecil, mencari kakak perempuannya yang tiba-tiba menghilang dari desa mereka. Ia merasa perlu mencari sang kakak yang dipanggilnya Usi (baca: panggilan untuk kakak perempuan di Maluku). Merasa harus menemukannya, mengingat selama ini keduanya hidup hanya berdua saja di sebuah rumah di pinggir desa. Dalam perjalanannya mencari sang kakak ke Piru (desa kecil lain yang jauh letaknya dari desanya) ia bertemu dengan Saras (Karina Salim), seorang wisatawan asal Jakarta, di sebuah pulau kosong. Salawaku yang jatuh kasihan melihat seorang gadis –Saras- duduk terbengong-bengong sendirian di sebuah pulau tak berpenghuni memberinya makan dari bekal yang dibawanya.
            Pertemuan Salawaku dan Saras -yang sebenarnya bersifat kebetulan- membuat keduanya saling terikat untuk, akhirnya, bersama-sama mencari Rinaiya, kakak perempuan Salawaku (diperankan oleh Raihaanun). Awalnya, perjalanannya via laut, menggunakan sampan kecil yang dicuri Salawaku dari Upulatu (julukan bagi seseorang yang paling dihormati di desa mereka). Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan desa kecil kosong meliuk-liuk yang di kiri kanannya dipenuhi tetumbuhan hijau yang hanya bisa kita temui di pulau-pulau kecil seperti Seram atau di sejumlah pulau di Nusa Tenggara Timur (NTT).



            Dari perjalanan keduanya melintasi wilayah terpencil-terbuka-kosong keindahan Pulau Seram (satu dari sekian banyak pulau di Propinsi Maluku) diekspoitasi habis-habisan. Bahkan untuk merekam banyak spot cantik di Pulau itu Salawaku  diharuskan berenang, menyelam untuk mencari obat penyembuh luka Saras, atau terjun ke dasar air terjun alami. Untung pemerannya –Elko Kastanya- bisa berenang dan menyelam dengan lincah, juga bisa mendayung perahu dengan benar. Sehingga yang dilakukannya dalam film benar-benar terkesan alami. Benar-benar terkesan bahwa dia adalah orang lokal.
            Kisah film ini sebenarnya sederhana (kisah sepasang kekasih yang salah satunya hamil dan terpaksa pergi untuk menghindarkan aib bagi adik laki-lakinya) dibuat jalin berjalin, mengandung sebab akibat yang terkesan alami. Sedemikian rupa keterhubungan itu sehingga membuat Salawaku dan Saras saling terikat, saling menolong, saling membutuhkan, sampai ke akhir film. Dalam film juga muncul sosok Kawanua, kekasih Rinaiya, yang selama ini bersikap ramah kepada Salawaku dan yang bersedia melakukan perjalanan panjang ke Piru bersama Saras dan Salawaku untuk menemukan Rinaiya.
           
Lokalitas yang kental:

            Namanya juga syuting di pulau Seram, dengan kisah yang menyuguhkan kekentalan lokal, sehingga hampir seluruh pemainnya harus berperan seoptimal mungkin menjadi ‘orang-orang Pulau Seram’. Dalam hal ini Elko Kastanya yang paling berhasil melakukannya. Cara bicaranya yang ‘Ambon banget’, kemampuannya menyelam dan mengayuh perahu, membuatnya piawai memerankan sosok Salawaku, seorang bocah pulau kecil yang dibesarkan oleh alam. Demikian juga dengan Joshua Ellow Matullessy yang tak menghadapi kesulitan memerankan sosok Kawanua (kekasih Rinaiya) yang asli orang Seram. Ini mengingat Joshua –kalau melihat nama belakang keluarganya- adalah orang dari Maluku.


            Sepanjang film hampir seluruh pemeran berbicara bahasa Indonesia dengan dialek Maluku yang kental. Sedemikian rupa sehingga hanya orang-orang yang pernah tinggal lama di kawasan Indonesia timur (Baca: NTT, Maluku, Papua) yang bisa menangkap keseluruhan dialog tanpa kehilangan sepotong pun maksud. Ini mengingat cukup banyak dialog yang diucapkan dengan tempo cepat (terutama dialog-dialog milik Salawaku dan sebagian milik Kawanua).



Bahkan Raihaanun pun harus berjibaku menjadi orang Seram. Setidaknya ini terlihat dari kulit sawo matang hasil karya juru rias di kulit tubuh dan wajahnya, rambut ikal, serta berbicara dengan dialek Maluku yang harus dibawakannya. Hanya Karina Salim yang terbebas dari beban ini. Berperan sebagai wisatawan asal ibu kota ia bisa leluasa menggunakan bahasa pergaulan Jakarta yang telah diakrabinya sedari kecil.
           
Pemandangan alam:
           
Teknik kamera memungkinkan penonton seolah bisa mengikuti perjalanan panjang Salawaku, Saras, dan Kawanua, menyusuri jalan-jalan desa kecil-kosong-berkelok-kelok menuju Piru. Penonton dibawa pula menikmati pantai berpasir putih dengan langit terbuka menjelang terbenamnya mentari. Penonton pun dibawa ke tempat pohon-pohon kayu putih ditanam dengan sejumlah orang yang tengah memetik pucuk-pucuk daun kayu putih.
Tentu dengan catatan, menontonnya harus di bioskop, di layar lebar, dan bukannya dari tabung televisi. Penonton akhirnya dibawa sampai ke Piru dan menemukan Rinaiya yang tengah bekerja di sebuah tempat penyulingan minyak kayu putih (meski dalam film tak disebutkan bahwa itu tempat penyulingan minyak kayu putih). Keberadaan Rinaiya di tempat itu sepertinya disengaja (Maksudnya di tempat penyulingan minyak kayu putih). Karena pulau Seram selama ini, memang menjadi produsen minyak kayu putih terbaik se Maluku.
Singkatnya, sedemikian banyaknya spot cantik yang terekam dalam Salawaku sehingga timbul kesan Pritagita Arianegara -sang sutradara- awalnya maunya merekam keelokan pulau Seram sebelum membuat kisah filmnya.


Kelemahan-kelemahan kecil:
           
            Kalau mau menyajikan kritik bisa jadi ditujukan pada Raihaanun yang berperan sebagai Rinaiya yang membuatnya harus berbicara dengan bahasa Indonesia dengan dialek lokal. Bagi telinga yang peka kelemahan ini tertampak. Dialeknya tak terdengar  asli. Untungnya Raihaanun bisa bermain cantik. Dan, untungnya lagi, pemandangan alamnya benar-benar indah. Sehingga kelemahan kecil semacam ini bisa tertutupi.
            Kelemahan kecil lain juga terdapat pada dialog Salawaku yang diucapkan dengan tempo yang kelewat cepat bagi telinga orang bukan Maluku. Singkatnya bagi telinga orang yang tak pernah tinggal di tempat itu akan kesulitan mengikuti keseluruhan dialog. Terlebih, istilah-islilah lokal yang digunakan para pemain lumayan banyak untuk bisa diingat satu per satu. Meski, cukup sering, pemainnya menyajikan terjemahannya.  Untungnya Elko Kastanya mampu bermain cantik –terutama dia- dengan kemampuannya berenang dan lain-lain itu, sehingga kelemahan kecil ini bisa diabaikan.
            Kesimpulannya, kalau mau menikmati sepotong surga cantik pulau Seram dan hanya punya budget terbatas silahkan saja datang ke bioskop dan menonton Salawaku. Dijamin film ini telah membuat kita seolah pernah berada di sana.*

Diresensi oleh: Nunuk Y. Kusmiana
           















Salawaku, Sebuah Resensi Film

SALAWAKU : KISAH SEPOTONG SURGA DI PULAU SERAM (Resensi Film)             Kalau tidak ada alur cerita dan kisah orang-orang di da...