SALAWAKU:
KISAH SEPOTONG SURGA DI PULAU SERAM
(Resensi
Film)
Kalau tidak
ada alur cerita dan kisah orang-orang di dalamnya sebagian penonton pasti akan terjebak
dengan menganggap film ini sebagai sebuah karya dokumenter atau nukilan
perjalanan seorang traveler. Bagaimana tidak, sejak menit pertama Salawaku
(rilis di bioskop pada 26 Oktober 2016) telah menyajikan pemandangan memukau:
bentang alam terbuka, hamparan langit luas berhiaskan awan-awan, laut biru
jernih dan kosong, hutan perawan, pantai berpasir putih, sunset di tepi
pantai, dan sejumlah spot magis-menarik lainnya.
Salawaku
mengisahkan perjalanan Salawaku (Elko Kastanya), seorang bocah kecil, mencari kakak
perempuannya yang tiba-tiba menghilang dari desa mereka. Ia merasa perlu
mencari sang kakak yang dipanggilnya Usi (baca: panggilan untuk kakak perempuan
di Maluku). Merasa harus menemukannya, mengingat selama ini keduanya hidup
hanya berdua saja di sebuah rumah di pinggir desa. Dalam perjalanannya mencari
sang kakak ke Piru (desa kecil lain yang jauh letaknya dari desanya) ia bertemu
dengan Saras (Karina Salim), seorang wisatawan asal Jakarta ,
di sebuah pulau kosong. Salawaku yang jatuh kasihan melihat seorang gadis –Saras-
duduk terbengong-bengong sendirian di sebuah pulau tak berpenghuni memberinya
makan dari bekal yang dibawanya.
Pertemuan
Salawaku dan Saras -yang sebenarnya bersifat kebetulan- membuat keduanya saling
terikat untuk, akhirnya, bersama-sama mencari Rinaiya, kakak perempuan Salawaku
(diperankan oleh Raihaanun). Awalnya, perjalanannya via laut, menggunakan sampan
kecil yang dicuri Salawaku dari Upulatu (julukan bagi seseorang yang paling
dihormati di desa mereka). Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan desa
kecil kosong meliuk-liuk yang di kiri kanannya dipenuhi tetumbuhan hijau yang
hanya bisa kita temui di pulau-pulau kecil seperti Seram atau di sejumlah pulau
di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dari perjalanan
keduanya melintasi wilayah terpencil-terbuka-kosong keindahan Pulau Seram (satu
dari sekian banyak pulau di Propinsi Maluku) diekspoitasi habis-habisan. Bahkan
untuk merekam banyak spot cantik di Pulau itu Salawaku diharuskan berenang, menyelam untuk mencari
obat penyembuh luka Saras, atau terjun ke dasar air terjun alami. Untung
pemerannya –Elko Kastanya- bisa berenang dan menyelam dengan lincah, juga bisa
mendayung perahu dengan benar. Sehingga yang dilakukannya dalam film benar-benar
terkesan alami. Benar-benar terkesan bahwa dia adalah orang lokal.
Kisah film ini
sebenarnya sederhana (kisah sepasang kekasih yang salah satunya hamil dan
terpaksa pergi untuk menghindarkan aib bagi adik laki-lakinya) dibuat jalin
berjalin, mengandung sebab akibat yang terkesan alami. Sedemikian rupa
keterhubungan itu sehingga membuat Salawaku dan Saras saling terikat, saling
menolong, saling membutuhkan, sampai ke akhir film. Dalam film juga muncul sosok
Kawanua, kekasih Rinaiya, yang selama ini bersikap ramah kepada Salawaku dan
yang bersedia melakukan perjalanan panjang ke Piru bersama Saras dan Salawaku
untuk menemukan Rinaiya.
Lokalitas yang kental:
Namanya juga
syuting di pulau Seram, dengan kisah yang menyuguhkan kekentalan lokal,
sehingga hampir seluruh pemainnya harus berperan seoptimal mungkin menjadi
‘orang-orang Pulau Seram’. Dalam hal ini Elko Kastanya yang paling berhasil melakukannya.
Cara bicaranya yang ‘Ambon banget’, kemampuannya
menyelam dan mengayuh perahu, membuatnya piawai memerankan sosok Salawaku,
seorang bocah pulau kecil yang dibesarkan oleh alam. Demikian juga dengan
Joshua Ellow Matullessy yang tak menghadapi kesulitan memerankan sosok Kawanua
(kekasih Rinaiya) yang asli orang Seram. Ini mengingat Joshua –kalau melihat
nama belakang keluarganya- adalah orang dari Maluku.
Sepanjang
film hampir seluruh pemeran berbicara bahasa Indonesia dengan dialek Maluku yang
kental. Sedemikian rupa sehingga hanya orang-orang yang pernah tinggal lama di
kawasan Indonesia
timur (Baca: NTT, Maluku, Papua) yang bisa menangkap keseluruhan dialog tanpa
kehilangan sepotong pun maksud. Ini mengingat cukup banyak dialog yang diucapkan
dengan tempo cepat (terutama dialog-dialog milik Salawaku dan sebagian milik
Kawanua).
Bahkan Raihaanun pun harus berjibaku menjadi
orang Seram. Setidaknya ini terlihat dari kulit sawo matang hasil karya juru rias
di kulit tubuh dan wajahnya, rambut ikal, serta berbicara dengan dialek Maluku
yang harus dibawakannya. Hanya Karina Salim yang terbebas dari beban ini.
Berperan sebagai wisatawan asal ibu kota
ia bisa leluasa menggunakan bahasa pergaulan Jakarta
yang telah diakrabinya sedari kecil.
Pemandangan alam:
Teknik kamera memungkinkan penonton seolah bisa
mengikuti perjalanan panjang Salawaku, Saras, dan Kawanua, menyusuri
jalan-jalan desa kecil-kosong-berkelok-kelok menuju Piru. Penonton dibawa pula menikmati
pantai berpasir putih dengan langit terbuka menjelang terbenamnya mentari. Penonton
pun dibawa ke tempat pohon-pohon kayu putih ditanam dengan sejumlah orang yang
tengah memetik pucuk-pucuk daun kayu putih.
Tentu dengan catatan, menontonnya harus di
bioskop, di layar lebar, dan bukannya dari tabung televisi. Penonton akhirnya dibawa
sampai ke Piru dan menemukan Rinaiya yang tengah bekerja di sebuah tempat
penyulingan minyak kayu putih (meski dalam film tak disebutkan bahwa itu tempat
penyulingan minyak kayu putih). Keberadaan Rinaiya di tempat itu sepertinya
disengaja (Maksudnya di tempat penyulingan minyak kayu putih). Karena pulau
Seram selama ini, memang menjadi produsen minyak kayu putih terbaik se Maluku.
Singkatnya, sedemikian banyaknya spot cantik
yang terekam dalam Salawaku sehingga timbul kesan Pritagita Arianegara -sang
sutradara- awalnya maunya merekam keelokan pulau Seram sebelum membuat kisah
filmnya.
Kelemahan-kelemahan kecil:
Kalau mau
menyajikan kritik bisa jadi ditujukan pada Raihaanun yang berperan sebagai
Rinaiya yang membuatnya harus berbicara dengan bahasa Indonesia dengan dialek
lokal. Bagi telinga yang peka kelemahan ini tertampak. Dialeknya tak terdengar asli. Untungnya Raihaanun bisa bermain cantik.
Dan, untungnya lagi, pemandangan alamnya benar-benar indah. Sehingga kelemahan
kecil semacam ini bisa tertutupi.
Kelemahan
kecil lain juga terdapat pada dialog Salawaku yang diucapkan dengan tempo yang
kelewat cepat bagi telinga orang bukan Maluku. Singkatnya bagi telinga orang yang
tak pernah tinggal di tempat itu akan kesulitan mengikuti keseluruhan dialog. Terlebih,
istilah-islilah lokal yang digunakan para pemain lumayan banyak untuk bisa
diingat satu per satu. Meski, cukup sering, pemainnya menyajikan
terjemahannya. Untungnya Elko Kastanya
mampu bermain cantik –terutama dia- dengan kemampuannya berenang dan lain-lain
itu, sehingga kelemahan kecil ini bisa diabaikan.
Kesimpulannya,
kalau mau menikmati sepotong surga cantik pulau Seram dan hanya punya budget
terbatas silahkan saja datang ke bioskop dan menonton Salawaku. Dijamin film
ini telah membuat kita seolah pernah berada di sana .*
Diresensi oleh: Nunuk Y. Kusmiana